‘Berbagai Macam Cara Agar Jokowi dan Kroninya Terus Berkuasa’

  • Bagikan
X


'Berbagai Macam Cara Agar Jokowi dan Kroninya Terus Berkuasa'


Nampak sekali adanya kepanikan dan gundah gulana yang melanda penghuni istana. Apalagi kalender pemilu 2024 akan segera tiba dalam waktu yang tidak terlalu lama. Apakah seluruh kepentingan dan keselamatannya rejim yang sekarang berkuasa akan terjamin manakala nanti hasil pemilu tidak sesuai dengan harapannya?


Kegundahan tersebut antara lain terungkap lewat pengakuan Budi Arie Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo), yang keceplosan menyebut bahwa jika kalah di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024, maka bisa masuk penjara semua.


Itulah sebabnya rejim yang sekarang berkuasa berusaha sekuat tenaga dengan berbagai cara agar bisa memenangkan pemilu 2024 nantinya. Cara cara untuk menang guna mempertahankan kekuasaan itu telah dilakukan cukup lama meskipun belum kelihatan ada jaminan akan berhasil sebagaimana harapan mereka.


Mengapa rejim yang sekarang berkuasa begitu ngotot untuk melanggengkan kekuasaannya ?. Dengan cara bagaimanakah rejim yang sekarang berkuasa itu berusaha mempertahankan kekuasaannya?.


Mengapa Ngotot Berkuasa?


Orang yang sudah berkuasa itu tentu saja sudah merasakan betapa enaknya jadi penguasa. Karena itu mereka yang sudah berkuasa akan cenderung untuk terus mempertahankan kekuasaannya. Tapi sebenarnya bukan soal enak atau tidak enaknya saja yang membuat orang itu menjadi ingin terus berkuasa.


Salah satu sebabnya karena selama berkuasa ia diduga telah melakukan pelanggaran hukum atau mengambil kebijakan yang salah sehingga ada rasa takut nantinya bakal diadili kalau tidak lagi berkuasa. Bisa juga ia sangat kuatir kalau kebijakan kebijakan yang dijalankan selama ia berkuasa tidak lagi di jalankan atau dilanjutkan oleh orang yang akan menggantikannya.


Terkait dengan Presiden Jokowi yang sekarang berkuasa, sekurang kurangnya ada tiga ketakutan yang membayanginya manakala nanti tidak lagi berkuasa


Yang Pertama, Berkaitan dengan Nasib Keluarganya. Seperti diketahui bersama, selama Jokowi berkuasa telah berhasil mengantarkan keluarganya menduduki jabatan publik yaitu di Solo dan Medan Sumatera Utara. Di Solo, ada nama Gibran Rakabuming Raka yang sudah berhasil menjadi seorang Walikota sementara di Medan ada nama Bobby Nasution jadi walikota yang notabene adalah mantunya.


Sebentar lagi konon Kaesang Pangarep anak ketiga Jokowi  juga akan maju menjadi Walikota Depok mengikuti jejak kakaknya. Lalu apa yang salah dengan itu semua ? Memang tidak ada ketentuan yang melarangnya. Paling paling orang akan bilang karena ada unsur nepotisme disana. Tapi dari sisi ke elokan dan etikanya, ada unsur aji mumpung disana.


Bahkan rejim yang dianggap sangat otoriter yaitu penguasa orde baru (Orba) pun tidak mau melakukannya. Melainkan hanya mengijinkan anak anaknya sebatas untuk berbisnis dengan dukungan kekuasaan ayahnya. Tapi melarang anaknya untuk berpolitik praktis dengan menjadi pejabat negara.


Kalau kita berandai andai, mungkinkah Gibran dan Bobby dapat terpilih sebagai pejabat negara setingkat Walikota kalau Jokowi tidak sedang menjabat sebagai presiden Indonesia ?. Mungkinkah dia akan terpilih kalau tidak ada tangan tangan kekuasaan yang ikut cawe cawe mensukseskannya ?.


Karena itu ada kekhawatiran kalau sampai Jokowi tidak berkuasa lagi, siapa yang bisa mengamankan kursi anak dan menantunya ?. Siapa yang bisa melindungi mereka ke depannya kalau misalnya melakukan pelanggaran hukum dalam menjalankan kebijakannya ?.


Apalagi sempat mencuat kasus korupsi putra Jokowi, Gibran dan Kaesang yang telah dilaporkan Ubaidillah Badrun ke KPK yang tidak ditindaklanjuti perkaranya dan kemungkinan bisa dibuka lagi kalau Jokowi sudah tidak lagi berkuasa


Saat ini anak dan mantunya masih aman aman saja karena ada Presiden Jokowi yang menjadi “pelindungnya”. Tapi siapa yang bisa menjamin nasib mereka akan aman aman saja kalau Jokowi sudah tidak lagi berkuasa ?


Yang Kedua, Berkaitan dengan Permasalahan Hukum Yang Mungkin akan Menjeratnya. Karena seperti kita ketahui bersama selama menjabat sebagai presiden Republik Indonesia, Jokowi sarat kontrovesi terkait dengan identitas dirinya dan adanya kebijakan kebijakan yang potensial mengandung permasalahan hukum didalamnya.


Diantara permasalahan hukum yang bakal menjeratnya bisa berkaitan dengan soal dugaan ijazah palsu yang dimilikinya, kasus Km. 50 dengan terbunuhnya 6 laskar FPI yang tidak tuntas proses peradilannya, kasus tragedi 21-22 Mei 2019 yang menewaskan 9 orang pada tahun 2019 saat pemilu, kasus mega skandal sebesar 349 triliun di Kemenkeu yang diduga melibatkan orang orang dekat istana termasuk keluarga penguasa, kasus dugaan kriminalisasi ulama dan sebagainya.


Yang Ketiga, Akan Dipersoalkan Kebijakan Kebijakan Yang Telah Diambilnya. Diantara kebijakan itu seperti Kasus Proyek Kereta Cepat Bandung-Jakarta yang menyedot dana APBN pada hal sebelumnya dinyatakan bahwa anggaran pembangunan kereta cepat itu tidak akan menggunakan anggaran negara.


Begitu juga dengan kebijakan untuk pindah ibukota yang awalnya akan mengandalkan investor untuk pembangunannya ternyata belakangan diketahui mengandalkan anggaran negara juga. Pada hal pindah ibukota ditengah ekonomi yang sulit saat ini patut dipertanyakan urgensinya untuk kepentingan siapa ?


Selanjutnya ada penambahan utang negara yang luar biasa besarnya sehingga sangat membebani APBN Indonesia. Belum lagi penerbitan Perppu yang kontroversial seperti Perpu tentang Hari Lahir Pancasila, Perpu Corona dan Perpu Cipta Kerja dan sebagainya. Diduga Perpu Perpu ini merupakan pesanan dari pihak tertentu sehingga keberadaannya bisa dikaji ulang karena dinilai melanggar ketentuan yang ada.


Masalah masalah tersebut bisa saja diungkit lagi secara hukum manakala Presiden yang sekarang berkuasa sudah kehilangan kekuasaanya. Kenyataan inilah kiranya yang telah membuat presiden yang berkuasa sekarang menjadi gundah gulana karena ada beban rasa bersalah yang menghinggapinya.


Seribu Cara untuk Tetap Berkuasa


Atas dasar kondisi sebagaimana telah dikemukakan diatas, sangat masuk akal kalau kemudian presiden yang sekarang berkuasa ingin terus mengamankan kekuasaannya. Semuanya demi terjaga keselamatan diri dan keluarganya serta kepentingan politiknya


Lalu bagaimana caranya agar bisa tetap berkuasa setelah dua periode masa jabatannya? Ada tiga cara yang sejauh ini yang telah diupayakan untuk dirintisnya yaitu : mengupayakan agar dirinya sendiri untuk bisa menjabat kembali untuk periode berikutnya, mendorong calon lain yang diluar dirinya untuk maju menggantikannya dan terakhir menjegal pencalonan calon presiden yang dianggap tidak sejalan dengan kemauannya.


Yang Pertama, Membuat Dirinya Sendiri agar Berkuasa Lebih Lama. Cara yang dilakukan adalah dengan memperpanjang masa jabatannya menjadi tiga periode atau menambah lagi satu periode berikutnya. Maka ramailah di media muncul berbagai berita tentang unjuk rasa dukungan agar Presiden bisa menjabat untuk kedua ketiga kalinya. Spanduk dan baleho dukungan juga muncul dimana mana.


Bukan hanya itu para Menteri terkait dan tokoh tokoh politik juga bersuara menyatakan dukunganya dengan berbagai alasan diantaranyasupaya pembangunan bisa berkelanjutan dan sebagainya dan sebagainya.


Tapi sayangnya perjuangan untuk tiga periode tidak segampang yang diduga karena terbentur pada ketentuan UUD 1945 yang tidak membolehkannya. Maka muncullah wacana untuk amandemen sampai saran untuk keluar Perpu perpanjangan masa jabatan presiden segala. Upaya inipun tidak bisa berjalan karena memang tidak terlalu berat tantangannya. Meskipun Jabatan Lurah dan kelembagaan negara lainnya seperti Mahkamah Konstitusi (MK) dan juga Komisi Pemberantasan KOrupsi (KPK) sudah diperpanjang agar bisa berimbas pada syahwat untuk perpanjangan jabatan presiden namun ternyata tidak berhasil juga.


Tak mau menyerah dengan kegagalan untuk mengamandemen UUD 1945 untuk merubah masa jabatan Presiden ,maka dicari jalan lain untuk berkuasa. Kali ini dengan berupaya untuk menunda pelaksanaan pemilu agar terus bisa menduduki jabatannya.


Macam macam alasan dikemukakan agar Pemilu bisa dituda pelakanaanya diantaranya karena pengaruh pandemi virus corona yang katanya belum mereda.Setelah mereda, pakai alasan lain yaitu ekonomi masih terpuruk akibat pandemi sehingga tidak memungkinkan untuk pelaksanaan pemilu sesuai jadwal semula.


Ada juga alasan bahwa kalau pemilu dilaksanakan bisa menaikkan suhu politik yang bisa mengancam kestabilan nasional sehingga menghambat pembangunan yang saat ini sudah berjalan bagus demi kemajuan ekonomi Indonesia dan sebagainya.


Pendeknya, macam macamlah cara yang dilakukan agar pemilu bisa ditunda pelaksanaannya. Diantaranya dengan tiba tiba saja muncul Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst, yang pada pokoknya meminta Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 yang bisa berujung pada keputusan pemilu di tunda.


Dari sisi pendanaan kabarnya dana untuk pemilu yang digelontorkan untuk KPU dan Bawaslu juga tidak full diberikan kepada mereka sehingga bisa menghambat tahapan pelaksanaan pemilu yang sudah disepakati bersama.


Namun berbagai macam cara ini nampaknya tidak bisa menjadi dasar untuk menunda pemilu sesuai dengan jadwal yang sudah disepakati bersama sesuai dengan ketentuan yang ada yaitu lima tahun sekali realisasinya.


Sampai disini sudah jelas bahwa sangat sulit bagi Jokowi agar dirinya sendiri bisa terus berkuasa. Untuk tahap berikutnya karena upaya tiga periode gagal, demikian juga upaya untuk menunda pemilu juga tidak menemui hasilnya lalu apa upaya berikutnya ? Tidak ada lain harus diupayakan skenario yang lainnya yaitu skenario kedua.


Yang kedua, adalah mendorong orang lain yang sejalan dengan keinginannya agar bisa menggantikannya. Dari sinilah kemudian muncul istilah “cawe cawe” Jokowi untuk menentukan siapa pemimpin Indonesia berikutnya. Jokowi lalu berusaha menjagokan orang yang di inginkannya untuk menggantikannya. Maka muncullah nama Ganjar Pranowo yang disebut sebut sebagai “bonekanya”.


Untuk Ganjar Pranowo ia telah menyiapkan skoci partai pendukung kalau kalau PDIP tidak mau mengusungnya sehingga dibentuklah KIB (Koalisi Indonesia Bersatu) yang terdiri dari Golkar, PAN dan PPP. Tapi diluar dugaan akhirnya PDIP mengusung Ganjar sebagai Capresnya sehingga KIB akhirnya buyar kehilangan arah perjuangannya.


Merasa belum aman kepentingannya bakal terjaga nanti setelah ia tidak lagi menjabat sebagai Presiden Indonesia, Jokowi mencadangkan Prabowo Subianto sebagai jagoannya. Siapa tahu Ganjar tidak bisa dikendalikan karena sudah berada dibawah kekuasaan Mega, atau Ganjar tidak bisa memenangkan Pilpres dan Prabowo yang naik menjadi presiden Indonesia, kepentingan Jokowi tetap terjaga. Pendeknya ia ingin all Jokowi Mens sebagai penerusnya.


Untuk menjaga agar orang orangnya yang menjadi penerusnya memimpin Indonesia, Jokowi diduga telah memainkan banyak strategi diantaranya :dengan menguasai hakim MK  dan KPK serta menjadikan kasus hukum sebagai alat tawar guna mengamankan kepentingannya.


Dengan menguasai hakim MK diharapkan nanti putusan-putusan MK tetap sejalan dengan strategi pemenangan yang dicanangkannya. Kondisi ini bisa diwujudkan ditengah minimnya sanksi serta standar etika syarat Negarawan yang melekat di lingkungan hakim MK.  Hal ini tergambar pada komposisi hakim MK yang sudah ditentukan siapa orangnya sesuai pilihan “penguasa” dimana ujung ujugnya bertujuan mengatur putusan MK.


Putusan MK yang memperpanjang masa jabatan Firli Bahuri cs, tidak bisa hanya dibaca dari segi yuridis semata, tetapi wajib dianalisis dari sisi politis, khususnya terkait kontestasi Pilpres 2024. Publik tentu sudah bisa membaca siapa yang di untungkan dan kemana arahnya.


Selain “mengkondisikan” hakim MK dan KPK, dilakukan juga upaya untuk menjadikan kasus hukum sebagai alat tawar menyambut Pilpres 2024 yang sudah tidak lama lagi bakal tiba. Hukum dijadikan alat tawar dan sandera untuk menentukan arah koalisi pasangan Capres dan Cawapres yang diinginkan oleh penguasa.


Kalau ada Ketua Umum Parpol atau elite politik yang tidak mau bergabung dengan koalisi bentukan pemerintah yang sekarang berkuasa bisa jadi perkara baginya. Ini barangkali yang terjadi pada diri seorang Airlangga Ketua Umum Golkar yang terancam di dongkel dari kursinya karena dinilai  “mbalelo” dengan arahan penguasa.


Tapi rupanya menjagokan Ganjar dan mencadangkan Prabowo saja masih belum cukup untuk menjaga keselamatan dan kepentingan Jokowi pasca tidak lagi menjadi Presiden Indonesia. Saat ini ada indikasi upaya Jokowi untuk memajukan anaknya sendiri sebagai orang kedua di Indonesia. Namun karena terkendala usia  akhirnya melalui Pemeritah dan DPR meminta suapaya soal Batasan usia Presiden dan Wakil Presiden di revisi dan untuk ini telah diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Berhasilkah usahanya ?.


Kalau upaya upaya sebagaimana yang dilakukan diatas ternyata tidak berhasil maka perlu diusahakan cara berikutnya yaitu menjegal calon presiden yang dinilai tidak sejalan dengannya atau membahayakan posisinya karena dianggap mengganggu kepentingannya. Saat ini calon yang dianggap berseberangan dengan Jokowi adalah Anies Baswedan sang mantan Gubernur DKI Jakarta. Oleh karena itu untuk mengamankan kekuasaannya perlu ditempuh upaya yang ketiga.


Yang Ketiga, Menjegal Anies Baswedan Maju Sebagai Capres 2024. Upaya yang ketiga ini memang tidak elok dan terkesan kasar namun mau tidak mau harus dilakukan supaya keselamatan dan kepentingan penguasa yang sekarang menjadi aman pasca lengser dari kursinya.


Sejauh ini berbagai cara dilakukan oleh presiden Jokowi agar Anies Baswedan tidak bisa diusung sebagai calon presiden 2024 nantinya. Strategi jegal Anies di antaranya dengan cara memfitnahnya secara massif khususnya lewat sosial media.


Anies dituduh sebagai bagian dari kelompok Islam kanan, bahkan ekstrem. Islam garis keras dan pendukung khilafah yang dinilai tidak sesuai dengan Pancasila.Tuduhan ini tentu mudah dipatahkan, karena tidak didukung cukup data. Tapi, kalau fitnah ini terus menerus disebarkan, apalagi menggunakan orang-orang yang profesional seperti ahli media dan intelijen, maka pada akhirnya publik bisa terpengaruh juga.


Cara berikutnya untuk menjegal Anies adalah dengan menghancurkan semua legacy dan jejak positifnya khususnya selama memimpin DKI Jakarta. JIS, Formula E, Jaklingko, Eco Park, trotoar, jalur sepeda, Taman Ismail Marzuki (TIM), dan semua warisan pembangunan Anies di DKI Jakarta berupaya untuk di nihilkan agar tidak bisa dijadikan bahan kampanyenya.


Ada upaya untuk mempengaruhi memori publik bahwa pembangunan era Anies itu buruk, bahkan bermasalah sehingga ketika Gubernur penggantinya datang dinilai sebagai penyelamatnya. Pesan ini yang ingin disampaikan ke public oleh mereka yang ingin menjegal Anies sebagai calon presiden Indonesia.


Upaya lain untuk menjegal Anies adalah dengan cara menjadikannya sebagai tersangka di KPK.Ini sudah menjadi rahasia umum, terkait dugaan korupsi Formula E. Meskipun opsi ini semakin kehilangan momentum, namun belum juga menghilang dari opsi untuk bisa menjegalnya. ***

Baca Juga

Penting:

Apabila terdapat kesalahan informasi dalam berita ini, silahkan kirim koreksi/laporan Anda ke alamat email kami di [email protected].
  • Bagikan